Fenomena geng motor yang meresahkan masyarakat Aceh bukan sekadar gangguan kecil di jalanan, tetapi telah berkembang menjadi ancaman sosial yang serius. Aksi brutal, perkelahian, bahkan tindak kriminal seperti pemalakan dan perusakan fasilitas umum semakin memperparah situasi. Pemerintah dan aparat keamanan menghadapi dilema besar: bagaimana menangani kelompok ini secara efektif tanpa melanggar hak asasi manusia? Dua opsi yang kerap diusulkan adalah mengirim mereka ke "barak militer" untuk ditempa dengan disiplin keras, atau memasukkan mereka ke "pondok pesantren" guna mendapat bimbingan moral dan spiritual.
Barak militer sering kali dianggap sebagai solusi ampuh bagi individu dengan sikap agresif dan kecenderungan kriminal. Dengan pendekatan kedisiplinan tinggi, para anggota geng motor bisa diajarkan tentang: tanggung jawab, kedisiplinan, dan loyalitas kepada negara. Mereka akan melewati pelatihan fisik yang berat dan pendidikan kebangsaan yang intensif. Ide ini didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan militer akan mengubah pola pikir mereka, membentuk karakter yang lebih positif, dan membantu mereka kembali ke masyarakat sebagai individu yang berguna. Namun, pendekatan militer juga menuai kritik karena dianggap terlalu keras dan berpotensi menimbulkan trauma psikologis bagi mereka yang masih berusia muda.
Di sisi lain, pondok pesantren menawarkan pendekatan yang lebih lembut dan berorientasi pada perubahan spiritual. Para pemuda geng motor dapat diarahkan melalui: pendidikan agama, bimbingan moral, serta pembinaan akhlak. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai Islam, mereka diharapkan meninggalkan gaya hidup kriminal dan menjadi individu yang lebih bertanggung jawab. Pesantren juga menekankan pentingnya kebersamaan, sehingga mereka bisa membentuk hubungan sosial yang lebih positif. Kendati demikian, efektivitas metode ini juga patut dipertanyakan—tidak semua anggota geng motor terpengaruh oleh pendekatan religius, terutama jika akar masalah mereka berakar pada kemiskinan, pengangguran, dan tekanan sosial.
Ketika membandingkan kedua metode ini, perlu dipertimbangkan apakah pendekatan hukuman lebih efektif daripada pendidikan. Jika anggota geng motor hanya dikirim ke barak militer tanpa ada pembinaan lanjutan atau peluang kerja setelah mereka keluar, kemungkinan besar mereka akan kembali ke kehidupan jalanan. Begitu pula jika hanya mengandalkan pesantren tanpa ada program rehabilitasi yang jelas, mereka bisa saja kembali terjerumus ke dalam kelompok kriminal yang sama. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih holistik diperlukan—kombinasi antara disiplin keras, pendidikan moral, dan kesempatan ekonomi agar mereka benar-benar bisa berubah.
Pendekatan militer dan pesantren masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun, solusi yang ideal harus mengakomodasi latar belakang dan motivasi individu dalam geng motor. Alih-alih sekadar menghukum atau mengkhotbahi mereka, solusi jangka panjang harus mencakup rehabilitasi berbasis pada pendidikan keterampilan, psikologi sosial, dan akses terhadap pekerjaan yang layak. Dengan demikian, perubahan tidak hanya terjadi secara instan tetapi juga berkelanjutan.
Masyarakat Aceh perlu memahami bahwa geng motor bukan hanya masalah keamanan, tetapi juga sosial dan ekonomi. Pemerintah daerah harus mengembangkan program rehabilitasi yang lebih komprehensif dan tidak hanya bergantung pada solusi yang ekstrem. Jika pembinaan dilakukan dengan pendekatan yang tepat—baik melalui disiplin militer maupun pendidikan agama—maka para mantan geng motor ini bisa menjadi agen perubahan yang positif di komunitas mereka.
Jadi, apakah barak militer atau pesantren adalah solusi terbaik? Jawabannya tidak sesederhana memilih satu di antara dua opsi. Yang diperlukan adalah strategi rehabilitasi yang menyeluruh, dengan menyeimbangkan kedisiplinan, bimbingan moral, dan peluang masa depan bagi mereka yang pernah tersesat di jalanan. Jika hanya mengandalkan tindakan represif, maka masalah ini hanya akan berulang, dengan wajah yang berbeda dan re-generasi yang terus bermunculan.