Palestina, tanah yang penuh sejarah, kini menjadi panggung dari kisah pilu yang seolah tak pernah selesai. Dalam bayang-bayang konflik yang berkepanjangan, rakyat Palestina mencoba bertahan, meski didera oleh kehilangan, kehancuran, dan ketidakpastian yang terus mengintai setiap harinya.
Di Gaza, sebuah pagi yang seharusnya membawa harapan sering kali dimulai dengan dentuman yang memecah langit. Rumah-rumah yang dulunya penuh gelak tawa kini rata dengan tanah, menjadi saksi bisu dari kehidupan yang tercerabut tanpa ampun. Seorang ibu menggenggam erat tangan anaknya, memeluknya seolah tak ingin melepaskan, ia takut kalau-kalau itu menjadi pelukan terakhir. Di sisi lain, seorang ayah berdiri di tengah reruntuhan, mencari dengan mata yang penuh air memgalir di wajahnya yang memar, mungkin hanya sekadar serpihan dari kenangan yang hancur.
Anak-anak Palestina, yang seharusnya sedang belajar mengejar mimpi, justru tumbuh di tengah deru senjata dan dinding-dinding tinggi yang membatasi pandangan mereka akan dunia. Mata mereka kehilangan cahaya polos nan lugu, digantikan dengan bayangan kesedihan yang terlalu berat untuk usia semuda itu. Bagi mereka, bermain bola di jalanan adalah kemewahan, sementara bunyi drone di atas kepala menjadi suara yang lebih akrab dibandingkan tawa teman-teman mereka.
Namun, penderitaan ini bukan hanya tentang kehidupan yang terenggut atau rumah yang hilang. Ini adalah tentang sebuah bangsa yang dipaksa bertahan di bawah tekanan yang tak kenal henti. Hak-hak dasar seperti air bersih, kebebasan bergerak, atau sekadar tidur tanpa rasa takut adalah kemewahan yang tak pernah mereka nikmati. Mereka tidak hanya kehilangan tanahnya, tetapi juga mimpi-mimpi dan hak untuk hidup tanpa rasa cemas.
Dan di balik semua ini, dunia terus berputar. Berita tentang Palestina sesekali melintas di layar televisi, menarik simpati sementara, sebelum akhirnya tenggelam oleh kabar lain yang lebih segar. Bagaimana bisa dunia begitu diam ketika ada bangsa yang begitu keras memperjuangkan sekadar hak untuk hidup? Apakah kita terlalu jauh hingga lupa bahwa mereka, seperti kita, juga manusia dengan rasa sakit yang sama?
Rakyat Palestina tidak hanya berjuang melawan penjajahan, tetapi juga melawan waktu yang terus merebut harapan mereka. Luka-luka yang ditinggalkan konflik ini menganga lebar, menunggu uluran tangan keadilan yang tak kunjung datang. Dunia harus menyadari, bahwa diam berarti turut andil dalam membiarkan penderitaan ini terus berlangsung.
Kisah Palestina adalah kisah tentang keberanian di tengah kehancuran, harapan di tengah keputusasaan, dan cinta yang tetap bertahan meski segalanya telah hilang. Mereka adalah cermin dari sebuah perjuangan untuk hidup, untuk diakui, dan untuk dicintai sebagai manusia seutuhnya. Dan jika kita masih memiliki hati, bagaimana bisa kita tidak terenyuh melihat luka yang seolah tak pernah dibiarkan sembuh ini?